Fenomena Angkutan Perkotaan yang sering disebut Angkot dari dua dekade lalu hingga hari ini masih mendominasi transportasi umum di perkotaan . Dan Fenomena dominasi ini bisa di bilang merata dikota kota besar seperti Jakarta , Surabaya hingga kota kota menegah seperti Bogor, Yogyakarta dan sebagainya.
Semakin sempitnya lahan dan pertambahan jalan yang belum sigifikan dengan laju pertumbuhan jalan telah memaksa para pengambil kebijakan transportasi untuk bertindak lebih baik dan lebih cepat dan terutama lebih massal.
Beroperasinya MRT dan LRT di Jakarta dan Palembang telah membuka wawasan kita tentang pentingnya angkutan massal di perkotaan, Kembali ke Judul kenapa Angkot sebaiknya tidak lagi menjadi sarana transportasi di perkotaan. Ada Dua alasan pokok.
Pertama Angkot dengan keterbatasan dimensi dan kapasitas mesin hanya sanggup membawa 10-12 penumpang dan dengan kenyamanan yang jauh dari minimal. Memang ada wacana angkot dilengkapi AC dan dengan konfigurasi bangku menghadap depan. Tapi ini tidak menjawap persoalan dasar kenyamanan, Angkot itu awalnya sasis mobil barang yang dibangun menjadi mobil penumpang. Ide dasarnya adalah untuk mobil pribadi / keluarga . Tinggi cabin angkot bukan didesain untik orang bisa lalau lalang dengan nyaman. Satun hal yang kita perlu cermati juga, kenaikan jumlah Ojol ojek online salah satu penyebabnya adalah kenyamanan angkutan umum.
Kedua. Tenaga kerja. Angkot itu dioperasikan dengan satu supir. Kepemilikan angkot adalah kepemilikan pribadi, Sangat sulit mengharapkan pelayanan yang profesional dari pelaku pleaku bisnis pribadi, Pemerintah dalam urusan angkot hanya terbatas pada regulator saja. Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah pengaturan di lapangan terutama pergantian jumlah angkot dengan Bus 3/4 ini. Barangkali 1 banding 6. satu Bus dengan 6 Angkot.
Bagaimana Gantinya, Penulis dari dekade lalu ( pernah menulis di Radar Bogor - melalui surat pembaca) selalu berpendapat bahwa angkutan perkotaan di kota kota menegah seperti Bogor maupun angkutan di pinggiran kota kota besar seperti Bekasi harus lebih memassalkan angkutan Bus menegah 3/4.
Di Bogor ada Trans Pakuan, Di Jogja ada Trans Jogja. Yang kurang adalah sikap pemda yang kurang memassalkan angkutan ini. Harus ada ketegasan Pemda terhadap perubahan sistem angkutan. Mulai penghentian ijin hingga penertiban Angkot-angkot yang sudah uzur atau yang tidak laik.
Kalo dari segi tenaga kerja, bus bus 3/4 ini jauh lebih banyak mengunakan tenaga kerja. Satu bus 3/4 bila di operasikan 21 jam perhari , maka perlu 3 supir dan 3 orang kondektur dengan masing masing 7 jam shift operasi. Belum lagi daya angkut dan kenyamanan kabin. Yang perlu dipikirkan segi desain yang lebih efisien dan barangkali mulai dengan mesin yang sudah Hybrid atau listrik.
Bagaimana soal kepemilikan, Angkutan umum sebaiknya dikelola badan hukum baik berupa BUMD atau PT. Pemda harus punya saham didalamnya dan juga bertindak sebagai regulator. Masyarakat yang inin berpartisipasi harus bergabung dengan badan usaha yang dibentuk. Tidak ada lagi kepemilikan pribadi, dengan begitu peningkatan pelayanan bukan lagi wacana.
Tahun 2019 ini harus di canangkan sebagai tahun perubahan Transportasi yang lebih baik. Banyak dari kita yang berangkat senja telah menyaksikan fenomena Angkot ini lebih dari 20 tahun. Kita harus sama sama melihat masa depan transportasi dengan lebih jernih dan lebih massal sekaligus nyaman dan Aman.
No comments:
Post a Comment